Friday, April 30, 2010

TIPS Keluar Dari Cengkraman Kemiskinan

By Kevin Wu*

Sebuah harian sore nasional yang terbit di Jakarta pada
15 Agustus 2003 menulis begini tentang Hari Dharmawan, pendiri Matahari
Departemen Store;

“Saya menyebut Hari Dharmawan sebagai ”The Legend”. Saya
kira ia pantas disebut seperti itu karena prestasi bisnisnya selama 40 tahun
lebih. Ukuran yang sederhana bisa kita pakai untuk melihat sukses Hari adalah
semua orang mengenal Matahari sebagai jaringan ritel raksasa di Indonesia. Kata
matahari bukan saja diasosiasikan sebagai sumber cahaya dan energi, tetapi juga
sebuah ritel yang ada di mana-mana. Kini, meski sang legenda sudah 62
tahun, tetapi geloranya dalam menyampaikan gagasannya masih seperti orang muda.
Saya kira, semangat bisnisnya juga masih menggelora seperti bicaranya. Saya
melihat Hari Dharmawan seperti seorang yang tidak pernah kering energinya. Hal
seperti inilah saya kira yang membuatnya sukses, di samping kecerdasan, kerja
keras, dan merintis usaha ini dari kecil sekali.”

Siapa yang tak kenal Departement Store Matahari? Ritel
untuk kalangan menengah atas ini berada di 86 lokasi yang sebagian besar
tersebar di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surbaya, Medan, dan
Jogjakarta. Ritel ini termasuk yang paling diminati masyakarat karena kualitas
barang dan harga jual yang bersaing. Melalui PT. Matahari Putra Prima
Tbk, perusahaan yang menaungi Matahari, Hari juga mengelola 45 hypermart dan 90
timezone, arena bermain untuk anak-anak. Bahkan pada 2003, Hari mendirikan
ritel yang sangat unik, Value Dollar, sebuah ritel yang semua barangnya dijual
dengan harga Rp5.000.

Kerja keras dalam merintis usaha, energi yang melimpah,
semangat yang tak pernah padam, dan kecerdasan merupakan aset pribadi yang maha
penting untuk mencapai sukses. Tak ada keberhasilan yang dapat diraih tanpa
kerja keras dan semangat pantang menyerah. Apalagi jika usaha dirintis dari
nol. Jangan pernah berharap dengan usaha dan kemauan yang sedikit, akan
dihasilkan sesuatu yang besar yang mendorong Anda untuk sukses. Jika seorang
petani tidak bekerja keras untuk merawat padi yang ditanamnya, dia mungkin akan
gigit jari karena sebelum masa panen tiba, padi telah rusak diserang hama.

Quality
Implementation (QI) Person yang merupakan bagian dari prinsip besar QI Leadership,
mengajarkan, untuk sukses, kita harus menginvestasikan aset kita, baik yang
berbentuk uang (materi), waktu, diri kita sendiri, dan orang-orang di sekitar
kita. Mengapa waktu, diri kita, dan orang-orang di sekitar kita perlu
diinvestasikan juga?

Jika kita menginvestasikan waktu kita, maka kita akan
berfikir bagaimana caranya menggunakan waktu dengan sebaik mungkin, sehingga
tak semenit pun terbuang sia-sia dan tidak mendatangkan manfaat bagi hidup
kita, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Ingat, tujuan orang
berinvestasi adalah mendatangkan keuntungan dari apa yang ditanamkan. Maka
jadikan waktu Anda sebagai aset yang dapat mendatangkan keuntungan bagi Anda,
yakni sukses. Hari Dharmawan telah memberitahukan caranya, yakni dengan bekerja
keras, sehingga sehingga Matahari menjadi salah satu ritel terbesar di Tanah
Air.

Bagaimana cara menginvestasikan diri sendiri?

Tuhan menganugerahi kita dengan akal, kecerdasan,
kekuatan, pengetahuan, dan sebagainya. Gunakan potensi-potensi ini untuk
membuat Anda sukses. Caranya, tentu saja, manfaatkan potensi tersebut untuk
hal-hal yang dapat mendorong Anda mencapai sukses itu, dan tinggalkan prilaku
atau kebiasaan yang justru akan menjerumuskan Anda pada jurang kegagalan. Jika
kita merujuk pada biografi Hari, sang Legenda itu menggunakan kecerdasannya
untuk menciptakan ide-ide brilian yang membuat perusahaannya berkembang dan
terus berkembang. Anda pun bisa seperti itu.

Menginvestasikan orang-orang di sekitar Anda?

Oho, jangan bingung, karena siapapun yang berada di sekitar
Anda merupakan aset yang dapat mendorong Anda untuk sukses. Jika Anda bergaul
dengan orang-orang yang sukses, Anda akan termotivasi untuk seperti mereka.
Jika Anda bergaul dengan orang-orang yang gagal, urakan, dan berengsek …? Hmm
…. Maka penting bagi Anda untuk menginvestasikan kehidupan sosial Anda pada
lingkungan yang tidak mendorong Anda pada kehidupan yang akhirnya hanya akan
merugikan diri Anda. Namun demikian ingat petatah petitih ini; “Penting
bagi Anda untuk mengenal orang yang telah sukses. Namun lebih penting lagi jika
orang itu mengenal Anda dan tahu bahwa Anda memiliki kredit point yang bagus”.
Mengapa? Jika Anda mengenal orang yang sukses dan orang itu tahu Anda termasuk
tipe orang yang plus plus, maka bukan mustahil dia akan mengundang Anda ketika
dia membutuhkan partner kerja.

Hasil akhir yang berkualitas dimulai dari implementasi
yang berkualitas (Quality implementation / QI).


Semoga
bermanfaat,

Kevin Wu
ResultConsultant

Managing Director
CoreAction Result Consulting
www.qi-leadership. com
www.thecoreaction. com

Tuesday, April 20, 2010

Dasar Teori Tentang Majnun

Emha Ainun Nadjib

Memang bukan Saridin namanya kalau tidak gila. Dan bukan gilanya Saridin kalau definisinya sama dengan definisi Anda tentang gila. Wong sama saya saja Saridin sering bertengkar soal mana yang gila dan mana yang tidak kok. Padahal saya juga agak gila. Apalagi sama Anda. Anda kan jelas-jelas waras.

Misalnya di jaman Demak bagian akhir-akhir itu saya menyatakan bersyukur bahwa dakwah para Wali semakin produktif. Sunan Ampel yang berfungsi sebagai semacam Ketua MPR, Sunan Kudus sebagai Menko Kesra, Sunan Bonang sebagai Pangab, atau Sunan Kalijaga sebagai Mendikbud, benar-benar menjalankan suatu managemen sejarah dan strategi sosialisasi nilai dengan metoda-metoda yang canggih dan efektif.

Bukan hanya komunitas-komunitas Islam semakin menyebar dan meluas, tapi juga mutu kedalaman orang beribadah semakin menggembirakan. Tapi Saridin menertawakan saya. Dan bagi saya sangat menyakitkan karena tertawanya dilambari aji-aji kedigdayaan batin: begitu suara tertawanya lolos dari terowongan tenggorokan Saridin, pepohonan bergetar-getar, burung-burung beterbangan menjauh, awan-awan dan mega melarikan diri sehingga matahari gemetar tertinggal sendirian di langit.

"Jangan sok kamu Din!" saya berteriak.

Saridin menghentikan tertawanya. Ia menjawab. "Bersyukur ya bersyukur, tapi kalau saya, juga berprihatin. "

"Kenapa?" tanya saya.

"Diantara orang-orang yang beribadah kepada Tuhan itu banyak yang majnun!"

"Gila?"

"Ya, Majnun itu artinya ya gila, Majnun!"

"Majnun gimana?"

"Pengertian kita tentang junun atau kegilaan kayaknya berbeda. Bagi saya gitu itu gila, tapi bagi kamu tidak."

"Gitu itu gimana yang kamu maksud?"

"Orang berdiri khusyuk dan bersedekap. Matanya konsentrasi ke kiblat. Mulutnya mengucapkan hanya kepada-Mu aku menyembah, dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan. ...", tiba-tiba tertawanya meledak lagi, sehingga tanah yang saya pijak terguncang, padahal tidak demikian. Orang itu tidak hanya kepada Tuhan menyembah. Wong jelas tiap hari dia menyembah para priyayi, para priyagung, para Tumenggung atau Adipati. Minta tolongnya juga kebanyakan tidak kepada Tuhan. Ia lebih banyak tergantung pada atasannya dibanding kepada Tuhan. Meskipun dia tidak menyatakan, tapi terbukti jelas dalam perilaku dia bahwa yang nomor satu bagi hidupnya bukan Tuhan, melainkan penguasa-penguasa lokal dalam hidupnya. Entah penguasa politik, atau penguasa ekonomi. Itu namanya majnun. Tuhan kok dibohongi. Dan caranya membohongi Tuhan dengan kekhusyukan lagi! Kalau otaknya sehat, hal begitu tidak terjadi. Hanya otak gila saja yang memungkinkan hal itu terjadi..... "

Saya melengos. "Ah, kamu ini terlalu idealis. Normal dong kalau manusia punya kelemahan yang demikian. Mana ada manusia yang sempurna. Orang kan boleh berproses. Orang berhak belajar secara bertahap. Pengabdiannya kepada Tuhan diolah dari belum utuh menjadi utuh pada akhirnya. Konsistensi seseorang atas kata-kata yang diucapkannya kan bertahap, tidak bisa langsung seratus persen!"

Kesal betul saya.

Tiba-tiba tertawanya meletus lagi, sehingga saya terjengkang lima depan kebelakang. "Lho, ini masalah simpel. Kalau bilang jagung ya jagung, kalau kedelai ya kedelai. Kalau ya itu ya ya. Kalau tidak itu ya tidak. Gampang saja kan? Kalau seorang Imam terlanjur mengungkapkan statemen kepada Tuhan 'hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan' - maka ia harus bertanggung jawab atas kata kami disitu. Artinya, pertama, ia terlanjur berjanji kepada Tuhan. Kedua, ia harus bertanggung jawab kolektif atas seluruh persoalan jamaahnya. Tidak hanya imam dan takwanya, tapi juga segala masalah kesehariannya, sampai soal nasi dan problem-problem sosialnya... .."

Sekarang giliran saya yang tertawa. Saya mendatangi Saridin dan berbisik di telinganya: "Din, jangan terlalu serius dong. Dialognya yang santai saja!"

"Lho!", Saridin terhenyak, "Justru karena ini untuk [buku] humor, maka saya pilihkan tema-tema lawakan. Gimana sih Ente ini. Yang saya omongkan ini kan orang-orang yang melawak kepada Tuhan. Orang-orang yang menyatakan sesuatu tapi tidak sungguh-sungguh. Orang-orang yang ndagel di hadapan Tuhan, karena mungkin dipikirnya Tuhan itu butuh dagelan dan disangkanya para Malaikat bisa tertawa!"

Saya jadi agak takut-takut. "Din, Saridin, kamu jangan begitu ah. Jangan omong yang enggak-enggak. Kalau sama Tuhan yang serius dong!"

"Justru saya sangat serius kepada Tuhan, sehingga saya ceritakan mengenai orang-orang yang melawak dihadapan-Nya! "

"Orang beribadah kok melawak!" saya membantah lagi.

"Lho, gimana sih, " ia menjawab "Orang tiap hari bersembahyang dan mengajukan permintaan kepada Tuhan - 'Ya Allah anugerahilah aku jalan yang lurus!' Dan Tuhan sudah selalu menganugerahkan apa yang orang minta. Orang itu tidak pernah memakainya, tapi tiap hari ia memintanya lagi dan lagi kepada Tuhan. Kalau saya jadi Tuhan, pasti kesel dong...."

"Husysysy!!! " saya membentak.

"Husysy bagaimana!"

"Emangnya kamu Tuhan?"

"Siapa bilang saya Tuhan? Majnun kamu!"

"Emangnya Tuhan bisa kesel?"

"Maha Suci Allah dari kekesalan. Tapi apakah karena Tuhan mustahil kesal maka menjadi alasan hamba-hamba- Nya untuk berbuat semaunya, untuk mendustai Dia, untuk berbuat gila?"

"Wong gitu saja kok gila tho Din!"

"Lho! Orang sudah disuguhi kopi, tidak diminum, lha kok minta kopi lagi, saya suguhi kopi lagi, lagi, lagi, lagi sampai meja penuh sesak oleh gelas-gelas kopi, tapi lantas tidak diminum lagi, tapi dia minta lagi dan minta lagi. Gila namanya kan?"

"Ah ya bukan gila. Itu paling-paling munafik namanya."

"Ya gila dong. Majnun. Orang yang punya logika, tapi berlaku tidak logis, itu penyakit junun namanya. Orang yang tak menggunakan pengertian mengenai konteks, proporsi dan lokasi-lokasi persoalan, itu virus junun yang menyebabkannya. Orang bilang keadilan sosial, tapi kerjanya tiap hari menata ketimpangan, itu majnun. Orang bilang semua perjuangan ini untuk rakyat, padahal prakteknya tidak - itu namanya virus junun, lebih parah dari HIV...."

Akhirnya saya kesal. Saya tinggalkan si Majnun ini!

----- Syahid Ibrahim -----
Disadur dari Buku Demokrasi Tolol Versi Saridin, Cetakan ke II 1998, Emha Ainun Nadjib

Sunday, April 18, 2010

Shaping Governance in Indonesian Family Businesses

Stefan S. Handoyo , Contributor , Jakarta | Wed, 04/14/2010 11:13 AM | Management

Past economic crises have served as a constant reminder that observance of modern corporate governance principles continues to be a clear reflection of corporate commitment to responsible citizenship.

Both corporate governance and responsible citizenship draw inspiration from the fundamental principles of fairness, transparency and accountability.
While the principles of, and the culture behind, corporate governance are fundamentally the same everywhere, the practices and approaches to improving those practices do vary from one country to another.

The traditional approach taken to raise the standards of corporate governance practice has been to empower the corporate board. Corporate governance, therefore, is about shaping the leadership of the corporate board.

Board empowerment has assumed a high priority in many industrialized countries, where there has been an “agency problem”. However, in many other emerging economies, including Indonesia, the corporate governance problem has not been a Western-style “agency problem”. Where controlling owners take on the prerogatives of the board as well as the reins of management there may not be much of an agency problem.

The problem may well be one of checks and balances to prevent owners from committing self-dealing and related abuses. These problems have been more significant and widespread in countries where the majority of businesses is owned and controlled by families or groups of close friends.

Family-owned corporations are one of the foundations of the business community. Their creation, growth and longevity are critical to the success of the national and global economy. In Indonesia, more than 90 percent of businesses are family-owned and controlled corporations. Although facing many of the same day-to-day management issues as publicly owned companies, they must also manage many issues specific to their status.

Many of the issues faced in family businesses are akin to those faced by many ordinary citizens in their day-to-day family life. Thus, there is a close inter-relationship between how a family nurtures and upholds its values and how a family-owned corporation shapes and upholds its corporate culture.

In fact, in many cases it is the family as the oldest formal institution in man’s history that actually defines the future and direction of any human secular activities, including business undertakings; not the other way around. When the families (values) are breaking down, sooner or later the future of the businesses they own will be at risk.

But, family members come and go. The corporations, on the other hand, are built to last for many generations to come. It is very crucial, therefore, that these corporations are built upon a solid foundation that is laid and created by the first generation of the families.

It is the first generations that actually set the tone at the top for the future and sustainability of many successful family-owned corporations. They can do this by creating a “Family Constitution or Charter” where the path of good corporate governance and family business principles cross each other and a clear guideline on how the family and business matters are treated is drawn.

Family corporations have to strive to be as well-managed as the best of their competitors. The need for a professional business approach is in fact greater in a family than in a non-family corporation. Family corporations also have distinctive characteristics from which they can derive a significant competitive advantage.
A long-term perspective comes from building a business for future generations while the strength of most family corporations’ founding values give them a clear identity in an increasingly faceless corporate world.

But there are also risks associated with this type of corporation, most notably the dissension that may arise within families, particularly between family members who are actively working in the business vs those who are solely shareholders.

Thus, four key issues related to family business corporate governance need to be highlighted: (1) Recruitment system that allows willing family members to be employed should be balanced with a performance- based promotion that is resolutely the same for both family and non-family managers; (2) fairness and transparency in financial and non-financial perks and reward systems, particularly within the family, to avoid tensions over perceived injustices; (3) more formal organizational structures to clarify roles and to separate the day-to-day management from the strategic direction of the business; and (4) a regular and proper channel of communication among family members to keep the integrity and unity of the family.

A well-functioning corporate governance system also needs the expertise of non-family executives. Successful family corporations need to establish a board devoted to strategic business issues and ideally comprise members – family and non-family – with a balanced skills and expertise. The family, on the other hand, needs to be constantly involved and informed, preferably through a family council or family office.

A board allows a family corporation to establish clear lines of authority for different areas of the business. It ensures the stability and continuity of the policies and values that distinguish the firm. It also makes a necessary distinction between matters of day-to-day management and issues of strategy. Boards allow the infusion of new ideas and a broader range of experience from having outside directors/commissio ners included.

Corporate boards need to be deeply conscious of their fiduciary duties. They need to ensure that all shareholders and other stakeholders as well are treated fairly. Boards need to be in a position where they can exercise independent judgment for the best interest of the corporation as a whole.

To live up to its role as a responsible corporate citizen, an effective board, a logical organizational structure, fair and transparent recruiting and promotion policies and open and free communication among family members are the key drivers to ensuring the longevity and success of a family corporation.

Finally, a family-owned corporation must also be able to go beyond the future of its own business and welfare of its own family. It must be able to address two important challenges: Grow the business and at the same time increase stakeholders’ values through their positive contributions to a wider community.


The writer is Senior Advisor of the Family Business Network Pacific-Asia in Indonesia, Vice President of PT Asia Select Indonesia and Managing Director of PT. SicBA (Strategic Business Advisory) Group International.

Wednesday, April 14, 2010

Chinese Industries to Build Special Economic Estates in Indonesia

Selasa, 13 April 2010 | 06:08 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com - Industry Minister MS Hidayat said a group of major Chinese industries are looking for land for building a Special Economic Estates (KEK) in Indonesia.

"The group is looking for 10,000 hectares of land for the KEK project. But they were looking for land with easy access to sea ports," Hidayat said after a hearing with Commission VI of the House of Representatives in Jakarta Monday night.

The Chinese industries wished to build an integrated industrial estate to produce consumer goods for local consumption and export.

"We will try to have them build the project outside Java island, may be in Kalimantan," Hidayat said.

The Chinese group of industries, he said, was seeking a new market and making an expansion because the Chinese manufacturing industry is relatively still small in other countries. But Hidayat still did not know the industrial sector the Chinese group wished to build in Indonesia.

"I suspect that they will also make use of the ACFTA," he added.