Sunday, May 2, 2010

Beli Rumah dengan Kartu Kredit (part 1)

(Perjalanan Kisah Tragis nan Heroik, demi sebuah Rumah Impian)

Pertama kali saya beli rumah, seperti kebanyakan karyawan pada umumnya adalah dengan KPR. Sudah 5 tahun lamanya saya bekerja, waktu itu sekitar tahun 2007, Jawa-Sumatera-Kalimantan sudah saya jalani, namun ternyata besarnya tabungan saya tidak sama dengan 5 tahun x 12 bulan x besarnya gaji x 1/3, sesuai ajaran luhur orang tua untuk menabung minimal 1/3 dari penghasilan kita. Yang terjadi setelah saya 5 tahun bekerja adalah 6 bln x besar gaji x ½, dalam artian begitu “kepepet-terdesak” dan sadar bahwa hidup butuh rumah dan rumah bisanya kredit, sementara kredit butuh DP (dow payment-uang muka), maka rumus kilat DP saya ketemu 6 bln x besar gaji x ½. Singkat kata DP 10 juta, KPR Subsidi pemerintah saya dapatkan.

“Proses berikutnya, nanti bapak akan dihubungi pihak bank,” begitu kata customer service developer dimana saya ajukan kredit KPR, setelah saya kirimkan semua berkas yang diminta.Namun..apa yang terjadi ?” hampir setahun saya menunggu proses lebih lanjut, setiap kali bertanya ke developer, jawaban di atas yang terulang.

“Bapak harusnya mengecek dulu, rumah yang mau dibeli bentuknya seperti apa, bangunannya sudah ada apa belum, dsb.” Ibarat beli motor, kan barangnya dilihat dulu, bukan hanya sebatas site plan, ” begitulah kata petugas Bank yang kami temui, serasa seperti petir di siang hari,” Rumah yang mau bapak beli itu, tanahnya masih sengketa”jadi semua berkas pengajuan dari developer juga belum bisa kami terima.” Lanjut petugas Bank.

Hangus sudah rumah impian, yang sedianya akan saya jadikan hadiah pernikahan untuk istri saya.Proses lama dan berlarut-larut memaksa saya (dan mungkin juga ratusan orang yg.menurut info developer sudah mengajukan proses) melupakan mimpi tersebut. The show must go on, pelajaran pertama aku dapatkan”Beli rumah dilihat bangunannya dulu, bukan hanya site plan (gambar)”, dan untuk mendapatkan pelajarn tersebut seharga DP rumah.Ibarat pepatah jawa, “Untung DP-ku baru angsuran pertama”.

Waktu kian berlalu, bayang2 beli rumah di developer yang kemarin masih membekas. Disuatu pagi yang cerah, Kepala Cabang dimana saya bekerja, mengajak saya melihat rumah yang sudah dia incar sebelumnya.Untuk menghindari cerita saya terulang, singkat cerita, kolega kantor tsb.saya tawari cek kejelasan status perumahan yang ditawarkan.Kebetulan saya msh.ada saudara di salah satu bank yang kerjasama dengan developer tsb.

“Developernya jelas itu, Yud..sudah ada 15 unit dari 100 rumah yang realisasi”Ambil aja, saya pesankan 2 unit, 1 buat temen kantor, 1 buat kamu.Kebetulan kmr.ada tolakan bank 3 unit, jadi bangunannya sudah jadi, ambil yang itu saja.” Begitulah kakak sepupu saya yang bekerja di bank tsb.bilang, dan akhirnya kami pun dipesankan unit, dan janji ketemu 2 hari kemudian.
“Berhubung rumah yang bapak pesan sudah jadi, dan bapak sudah lihat sendiri rumahnya, maka kami minta maksimal 1 minggu setelah ini, bapak harus melunasi DP-nya. Harga rumah 80 juta (harusnya harga baru sdh.90 juta, dari harga awal buka, 1,5 tahun yang lalu:60 juta), DP 20 juta, jadi KPR bapak 60 juta, kalo persetujuan pihak bank dibawah 60 juta, maka bapak harus membayar sisanya cash.”begitulah developer dengan posisi tawar yang diatas saya menjelaskan.

“Gmn.Pak? diambil?” kolega yang kepala cabang tadi meminta pertimbangan saya.
“Ambil aja Pak..” spontan otak kanan saya merespon. Padahal otak kiri saya langsung mereply” uang darimana?”Bukankah kmr.habis buat resepsi nikah?”. Ah gimana nantilah..“Saya cuma ingat kata guru pengusaha saya, bahwa salah satu kesalahan yang masih bisa diampuni adalah kesalahan dalam membeli rumah, karena harga rumah akan senantiasa naik.”

Dateline bayar DP KPR adalah Senin. Sampai dengan Hari Jum’at belum satupun ide yang muncul buat bayar DP. Bener-bener buntu. Yang ada di 75 % otak saya cuma 5 buah kartu kredit dengan plafon Rp.3.500.000 per kartu.total Cuma Rp.17,5 juta, gak cukup..!! lagian apakah biaya sudah selesai? Bukankah msh.ada biaya realisasi KPR? Ah…biaya DP aja blm.selesai, ngapain mikir biaya realisasi.Tapi…gimana bayar kartu kreditnya kl.aku pake semua?Bukankah gajiku juga cuma Rp.3.5 juta? Dan bukankah sisa tagihan periode seblumnya msh.6.5 juta? Otak kiri ku langsung send message “Nggak Mungkin..!!”.

Dalam teori The Power of Kepepet, otak bawah sadar kita akan bekerja optimal, mengembang lebih besar dari yang ada, menembus batas yang tidak mungkin di sentuh oleh kondisi normal. Segala panca indra, seolah tak lagi berfungsi pada posisinya.
Dengan muka tembok, dan kulit badak, aku pinjam orang tua, msh.kurang aku pinjam mertua, sesuatu yg.gak mngk.dilakukan pd.kondisi normal, gmn.mngk.seorang menantu pinjam mertua di saat tenda resepsi pun blm.usai dibongkar??!.

8 juta dari orang tua, 7 juta dari mertua, sisa 5 juta, klop aku gesek kartu kreditku (cash advance/gesek tunai), dan beres...hari minggu aku selesaikan project ngutangku, dan senin aku bereskan DP ku 20 juta.Hari-hariku dalam menanti realisasi KPR dipenuhi dengan tagihan kartu kredit.Dan....alamak...biaya realisasi KPR msh.7 juta-an lagi?Lengkaplah sudah, akhirnya 4 kartu kredit aku gesek, tinggal satu kartu yang tersisa. Dan memang dalam teori manajemen kartu kredit, salah satu bunyinya” dalam siklus hutang kartu kredit, minimal harus ada satu kartu dengan posisi tidak terpakai, dan pemegang kartu harus punya penghasilan setidaknya sama dengan nominal hutang satu kartu yang digesek”.

Dan begitulah, akhirnya...sebuah rumah mungil, bisa aku dapatkan, istri dan karunia seorang anakpun patut saya syukuri sebagai penghuni rumah, walaupun ”luka” kartu kredit itupun masih aku alami sampai saat ini, hampir 2 tahun kemudian. Namun, bereskah urusan KPR saya?Bagimana dengan nasib KPR saya sebelumnya? Simak dalam cerita heroik edisi berikutnya.

Friday, April 30, 2010

TIPS Keluar Dari Cengkraman Kemiskinan

By Kevin Wu*

Sebuah harian sore nasional yang terbit di Jakarta pada
15 Agustus 2003 menulis begini tentang Hari Dharmawan, pendiri Matahari
Departemen Store;

“Saya menyebut Hari Dharmawan sebagai ”The Legend”. Saya
kira ia pantas disebut seperti itu karena prestasi bisnisnya selama 40 tahun
lebih. Ukuran yang sederhana bisa kita pakai untuk melihat sukses Hari adalah
semua orang mengenal Matahari sebagai jaringan ritel raksasa di Indonesia. Kata
matahari bukan saja diasosiasikan sebagai sumber cahaya dan energi, tetapi juga
sebuah ritel yang ada di mana-mana. Kini, meski sang legenda sudah 62
tahun, tetapi geloranya dalam menyampaikan gagasannya masih seperti orang muda.
Saya kira, semangat bisnisnya juga masih menggelora seperti bicaranya. Saya
melihat Hari Dharmawan seperti seorang yang tidak pernah kering energinya. Hal
seperti inilah saya kira yang membuatnya sukses, di samping kecerdasan, kerja
keras, dan merintis usaha ini dari kecil sekali.”

Siapa yang tak kenal Departement Store Matahari? Ritel
untuk kalangan menengah atas ini berada di 86 lokasi yang sebagian besar
tersebar di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surbaya, Medan, dan
Jogjakarta. Ritel ini termasuk yang paling diminati masyakarat karena kualitas
barang dan harga jual yang bersaing. Melalui PT. Matahari Putra Prima
Tbk, perusahaan yang menaungi Matahari, Hari juga mengelola 45 hypermart dan 90
timezone, arena bermain untuk anak-anak. Bahkan pada 2003, Hari mendirikan
ritel yang sangat unik, Value Dollar, sebuah ritel yang semua barangnya dijual
dengan harga Rp5.000.

Kerja keras dalam merintis usaha, energi yang melimpah,
semangat yang tak pernah padam, dan kecerdasan merupakan aset pribadi yang maha
penting untuk mencapai sukses. Tak ada keberhasilan yang dapat diraih tanpa
kerja keras dan semangat pantang menyerah. Apalagi jika usaha dirintis dari
nol. Jangan pernah berharap dengan usaha dan kemauan yang sedikit, akan
dihasilkan sesuatu yang besar yang mendorong Anda untuk sukses. Jika seorang
petani tidak bekerja keras untuk merawat padi yang ditanamnya, dia mungkin akan
gigit jari karena sebelum masa panen tiba, padi telah rusak diserang hama.

Quality
Implementation (QI) Person yang merupakan bagian dari prinsip besar QI Leadership,
mengajarkan, untuk sukses, kita harus menginvestasikan aset kita, baik yang
berbentuk uang (materi), waktu, diri kita sendiri, dan orang-orang di sekitar
kita. Mengapa waktu, diri kita, dan orang-orang di sekitar kita perlu
diinvestasikan juga?

Jika kita menginvestasikan waktu kita, maka kita akan
berfikir bagaimana caranya menggunakan waktu dengan sebaik mungkin, sehingga
tak semenit pun terbuang sia-sia dan tidak mendatangkan manfaat bagi hidup
kita, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Ingat, tujuan orang
berinvestasi adalah mendatangkan keuntungan dari apa yang ditanamkan. Maka
jadikan waktu Anda sebagai aset yang dapat mendatangkan keuntungan bagi Anda,
yakni sukses. Hari Dharmawan telah memberitahukan caranya, yakni dengan bekerja
keras, sehingga sehingga Matahari menjadi salah satu ritel terbesar di Tanah
Air.

Bagaimana cara menginvestasikan diri sendiri?

Tuhan menganugerahi kita dengan akal, kecerdasan,
kekuatan, pengetahuan, dan sebagainya. Gunakan potensi-potensi ini untuk
membuat Anda sukses. Caranya, tentu saja, manfaatkan potensi tersebut untuk
hal-hal yang dapat mendorong Anda mencapai sukses itu, dan tinggalkan prilaku
atau kebiasaan yang justru akan menjerumuskan Anda pada jurang kegagalan. Jika
kita merujuk pada biografi Hari, sang Legenda itu menggunakan kecerdasannya
untuk menciptakan ide-ide brilian yang membuat perusahaannya berkembang dan
terus berkembang. Anda pun bisa seperti itu.

Menginvestasikan orang-orang di sekitar Anda?

Oho, jangan bingung, karena siapapun yang berada di sekitar
Anda merupakan aset yang dapat mendorong Anda untuk sukses. Jika Anda bergaul
dengan orang-orang yang sukses, Anda akan termotivasi untuk seperti mereka.
Jika Anda bergaul dengan orang-orang yang gagal, urakan, dan berengsek …? Hmm
…. Maka penting bagi Anda untuk menginvestasikan kehidupan sosial Anda pada
lingkungan yang tidak mendorong Anda pada kehidupan yang akhirnya hanya akan
merugikan diri Anda. Namun demikian ingat petatah petitih ini; “Penting
bagi Anda untuk mengenal orang yang telah sukses. Namun lebih penting lagi jika
orang itu mengenal Anda dan tahu bahwa Anda memiliki kredit point yang bagus”.
Mengapa? Jika Anda mengenal orang yang sukses dan orang itu tahu Anda termasuk
tipe orang yang plus plus, maka bukan mustahil dia akan mengundang Anda ketika
dia membutuhkan partner kerja.

Hasil akhir yang berkualitas dimulai dari implementasi
yang berkualitas (Quality implementation / QI).


Semoga
bermanfaat,

Kevin Wu
ResultConsultant

Managing Director
CoreAction Result Consulting
www.qi-leadership. com
www.thecoreaction. com

Tuesday, April 20, 2010

Dasar Teori Tentang Majnun

Emha Ainun Nadjib

Memang bukan Saridin namanya kalau tidak gila. Dan bukan gilanya Saridin kalau definisinya sama dengan definisi Anda tentang gila. Wong sama saya saja Saridin sering bertengkar soal mana yang gila dan mana yang tidak kok. Padahal saya juga agak gila. Apalagi sama Anda. Anda kan jelas-jelas waras.

Misalnya di jaman Demak bagian akhir-akhir itu saya menyatakan bersyukur bahwa dakwah para Wali semakin produktif. Sunan Ampel yang berfungsi sebagai semacam Ketua MPR, Sunan Kudus sebagai Menko Kesra, Sunan Bonang sebagai Pangab, atau Sunan Kalijaga sebagai Mendikbud, benar-benar menjalankan suatu managemen sejarah dan strategi sosialisasi nilai dengan metoda-metoda yang canggih dan efektif.

Bukan hanya komunitas-komunitas Islam semakin menyebar dan meluas, tapi juga mutu kedalaman orang beribadah semakin menggembirakan. Tapi Saridin menertawakan saya. Dan bagi saya sangat menyakitkan karena tertawanya dilambari aji-aji kedigdayaan batin: begitu suara tertawanya lolos dari terowongan tenggorokan Saridin, pepohonan bergetar-getar, burung-burung beterbangan menjauh, awan-awan dan mega melarikan diri sehingga matahari gemetar tertinggal sendirian di langit.

"Jangan sok kamu Din!" saya berteriak.

Saridin menghentikan tertawanya. Ia menjawab. "Bersyukur ya bersyukur, tapi kalau saya, juga berprihatin. "

"Kenapa?" tanya saya.

"Diantara orang-orang yang beribadah kepada Tuhan itu banyak yang majnun!"

"Gila?"

"Ya, Majnun itu artinya ya gila, Majnun!"

"Majnun gimana?"

"Pengertian kita tentang junun atau kegilaan kayaknya berbeda. Bagi saya gitu itu gila, tapi bagi kamu tidak."

"Gitu itu gimana yang kamu maksud?"

"Orang berdiri khusyuk dan bersedekap. Matanya konsentrasi ke kiblat. Mulutnya mengucapkan hanya kepada-Mu aku menyembah, dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan. ...", tiba-tiba tertawanya meledak lagi, sehingga tanah yang saya pijak terguncang, padahal tidak demikian. Orang itu tidak hanya kepada Tuhan menyembah. Wong jelas tiap hari dia menyembah para priyayi, para priyagung, para Tumenggung atau Adipati. Minta tolongnya juga kebanyakan tidak kepada Tuhan. Ia lebih banyak tergantung pada atasannya dibanding kepada Tuhan. Meskipun dia tidak menyatakan, tapi terbukti jelas dalam perilaku dia bahwa yang nomor satu bagi hidupnya bukan Tuhan, melainkan penguasa-penguasa lokal dalam hidupnya. Entah penguasa politik, atau penguasa ekonomi. Itu namanya majnun. Tuhan kok dibohongi. Dan caranya membohongi Tuhan dengan kekhusyukan lagi! Kalau otaknya sehat, hal begitu tidak terjadi. Hanya otak gila saja yang memungkinkan hal itu terjadi..... "

Saya melengos. "Ah, kamu ini terlalu idealis. Normal dong kalau manusia punya kelemahan yang demikian. Mana ada manusia yang sempurna. Orang kan boleh berproses. Orang berhak belajar secara bertahap. Pengabdiannya kepada Tuhan diolah dari belum utuh menjadi utuh pada akhirnya. Konsistensi seseorang atas kata-kata yang diucapkannya kan bertahap, tidak bisa langsung seratus persen!"

Kesal betul saya.

Tiba-tiba tertawanya meletus lagi, sehingga saya terjengkang lima depan kebelakang. "Lho, ini masalah simpel. Kalau bilang jagung ya jagung, kalau kedelai ya kedelai. Kalau ya itu ya ya. Kalau tidak itu ya tidak. Gampang saja kan? Kalau seorang Imam terlanjur mengungkapkan statemen kepada Tuhan 'hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan' - maka ia harus bertanggung jawab atas kata kami disitu. Artinya, pertama, ia terlanjur berjanji kepada Tuhan. Kedua, ia harus bertanggung jawab kolektif atas seluruh persoalan jamaahnya. Tidak hanya imam dan takwanya, tapi juga segala masalah kesehariannya, sampai soal nasi dan problem-problem sosialnya... .."

Sekarang giliran saya yang tertawa. Saya mendatangi Saridin dan berbisik di telinganya: "Din, jangan terlalu serius dong. Dialognya yang santai saja!"

"Lho!", Saridin terhenyak, "Justru karena ini untuk [buku] humor, maka saya pilihkan tema-tema lawakan. Gimana sih Ente ini. Yang saya omongkan ini kan orang-orang yang melawak kepada Tuhan. Orang-orang yang menyatakan sesuatu tapi tidak sungguh-sungguh. Orang-orang yang ndagel di hadapan Tuhan, karena mungkin dipikirnya Tuhan itu butuh dagelan dan disangkanya para Malaikat bisa tertawa!"

Saya jadi agak takut-takut. "Din, Saridin, kamu jangan begitu ah. Jangan omong yang enggak-enggak. Kalau sama Tuhan yang serius dong!"

"Justru saya sangat serius kepada Tuhan, sehingga saya ceritakan mengenai orang-orang yang melawak dihadapan-Nya! "

"Orang beribadah kok melawak!" saya membantah lagi.

"Lho, gimana sih, " ia menjawab "Orang tiap hari bersembahyang dan mengajukan permintaan kepada Tuhan - 'Ya Allah anugerahilah aku jalan yang lurus!' Dan Tuhan sudah selalu menganugerahkan apa yang orang minta. Orang itu tidak pernah memakainya, tapi tiap hari ia memintanya lagi dan lagi kepada Tuhan. Kalau saya jadi Tuhan, pasti kesel dong...."

"Husysysy!!! " saya membentak.

"Husysy bagaimana!"

"Emangnya kamu Tuhan?"

"Siapa bilang saya Tuhan? Majnun kamu!"

"Emangnya Tuhan bisa kesel?"

"Maha Suci Allah dari kekesalan. Tapi apakah karena Tuhan mustahil kesal maka menjadi alasan hamba-hamba- Nya untuk berbuat semaunya, untuk mendustai Dia, untuk berbuat gila?"

"Wong gitu saja kok gila tho Din!"

"Lho! Orang sudah disuguhi kopi, tidak diminum, lha kok minta kopi lagi, saya suguhi kopi lagi, lagi, lagi, lagi sampai meja penuh sesak oleh gelas-gelas kopi, tapi lantas tidak diminum lagi, tapi dia minta lagi dan minta lagi. Gila namanya kan?"

"Ah ya bukan gila. Itu paling-paling munafik namanya."

"Ya gila dong. Majnun. Orang yang punya logika, tapi berlaku tidak logis, itu penyakit junun namanya. Orang yang tak menggunakan pengertian mengenai konteks, proporsi dan lokasi-lokasi persoalan, itu virus junun yang menyebabkannya. Orang bilang keadilan sosial, tapi kerjanya tiap hari menata ketimpangan, itu majnun. Orang bilang semua perjuangan ini untuk rakyat, padahal prakteknya tidak - itu namanya virus junun, lebih parah dari HIV...."

Akhirnya saya kesal. Saya tinggalkan si Majnun ini!

----- Syahid Ibrahim -----
Disadur dari Buku Demokrasi Tolol Versi Saridin, Cetakan ke II 1998, Emha Ainun Nadjib

Sunday, April 18, 2010

Shaping Governance in Indonesian Family Businesses

Stefan S. Handoyo , Contributor , Jakarta | Wed, 04/14/2010 11:13 AM | Management

Past economic crises have served as a constant reminder that observance of modern corporate governance principles continues to be a clear reflection of corporate commitment to responsible citizenship.

Both corporate governance and responsible citizenship draw inspiration from the fundamental principles of fairness, transparency and accountability.
While the principles of, and the culture behind, corporate governance are fundamentally the same everywhere, the practices and approaches to improving those practices do vary from one country to another.

The traditional approach taken to raise the standards of corporate governance practice has been to empower the corporate board. Corporate governance, therefore, is about shaping the leadership of the corporate board.

Board empowerment has assumed a high priority in many industrialized countries, where there has been an “agency problem”. However, in many other emerging economies, including Indonesia, the corporate governance problem has not been a Western-style “agency problem”. Where controlling owners take on the prerogatives of the board as well as the reins of management there may not be much of an agency problem.

The problem may well be one of checks and balances to prevent owners from committing self-dealing and related abuses. These problems have been more significant and widespread in countries where the majority of businesses is owned and controlled by families or groups of close friends.

Family-owned corporations are one of the foundations of the business community. Their creation, growth and longevity are critical to the success of the national and global economy. In Indonesia, more than 90 percent of businesses are family-owned and controlled corporations. Although facing many of the same day-to-day management issues as publicly owned companies, they must also manage many issues specific to their status.

Many of the issues faced in family businesses are akin to those faced by many ordinary citizens in their day-to-day family life. Thus, there is a close inter-relationship between how a family nurtures and upholds its values and how a family-owned corporation shapes and upholds its corporate culture.

In fact, in many cases it is the family as the oldest formal institution in man’s history that actually defines the future and direction of any human secular activities, including business undertakings; not the other way around. When the families (values) are breaking down, sooner or later the future of the businesses they own will be at risk.

But, family members come and go. The corporations, on the other hand, are built to last for many generations to come. It is very crucial, therefore, that these corporations are built upon a solid foundation that is laid and created by the first generation of the families.

It is the first generations that actually set the tone at the top for the future and sustainability of many successful family-owned corporations. They can do this by creating a “Family Constitution or Charter” where the path of good corporate governance and family business principles cross each other and a clear guideline on how the family and business matters are treated is drawn.

Family corporations have to strive to be as well-managed as the best of their competitors. The need for a professional business approach is in fact greater in a family than in a non-family corporation. Family corporations also have distinctive characteristics from which they can derive a significant competitive advantage.
A long-term perspective comes from building a business for future generations while the strength of most family corporations’ founding values give them a clear identity in an increasingly faceless corporate world.

But there are also risks associated with this type of corporation, most notably the dissension that may arise within families, particularly between family members who are actively working in the business vs those who are solely shareholders.

Thus, four key issues related to family business corporate governance need to be highlighted: (1) Recruitment system that allows willing family members to be employed should be balanced with a performance- based promotion that is resolutely the same for both family and non-family managers; (2) fairness and transparency in financial and non-financial perks and reward systems, particularly within the family, to avoid tensions over perceived injustices; (3) more formal organizational structures to clarify roles and to separate the day-to-day management from the strategic direction of the business; and (4) a regular and proper channel of communication among family members to keep the integrity and unity of the family.

A well-functioning corporate governance system also needs the expertise of non-family executives. Successful family corporations need to establish a board devoted to strategic business issues and ideally comprise members – family and non-family – with a balanced skills and expertise. The family, on the other hand, needs to be constantly involved and informed, preferably through a family council or family office.

A board allows a family corporation to establish clear lines of authority for different areas of the business. It ensures the stability and continuity of the policies and values that distinguish the firm. It also makes a necessary distinction between matters of day-to-day management and issues of strategy. Boards allow the infusion of new ideas and a broader range of experience from having outside directors/commissio ners included.

Corporate boards need to be deeply conscious of their fiduciary duties. They need to ensure that all shareholders and other stakeholders as well are treated fairly. Boards need to be in a position where they can exercise independent judgment for the best interest of the corporation as a whole.

To live up to its role as a responsible corporate citizen, an effective board, a logical organizational structure, fair and transparent recruiting and promotion policies and open and free communication among family members are the key drivers to ensuring the longevity and success of a family corporation.

Finally, a family-owned corporation must also be able to go beyond the future of its own business and welfare of its own family. It must be able to address two important challenges: Grow the business and at the same time increase stakeholders’ values through their positive contributions to a wider community.


The writer is Senior Advisor of the Family Business Network Pacific-Asia in Indonesia, Vice President of PT Asia Select Indonesia and Managing Director of PT. SicBA (Strategic Business Advisory) Group International.

Wednesday, April 14, 2010

Chinese Industries to Build Special Economic Estates in Indonesia

Selasa, 13 April 2010 | 06:08 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com - Industry Minister MS Hidayat said a group of major Chinese industries are looking for land for building a Special Economic Estates (KEK) in Indonesia.

"The group is looking for 10,000 hectares of land for the KEK project. But they were looking for land with easy access to sea ports," Hidayat said after a hearing with Commission VI of the House of Representatives in Jakarta Monday night.

The Chinese industries wished to build an integrated industrial estate to produce consumer goods for local consumption and export.

"We will try to have them build the project outside Java island, may be in Kalimantan," Hidayat said.

The Chinese group of industries, he said, was seeking a new market and making an expansion because the Chinese manufacturing industry is relatively still small in other countries. But Hidayat still did not know the industrial sector the Chinese group wished to build in Indonesia.

"I suspect that they will also make use of the ACFTA," he added.

Saturday, March 13, 2010

Generasi Unggul dengan Otak Tengah

[ Minggu, 14 Maret 2010 ]

AKTIVASI otak tengah adalah fenomena baru di Indonesia. Kurang lebih enam bulan lalu, aktivasi otak tengah untuk anak usia lima hingga lima belas tahun mulai meramaikan workshop edukasi dan perkembangan otak anak. Inikah cara instan menjadikan anak Anda genius dan ''hebat''?

Di Malaysia, otak tengah dikenal sejak lima tahun lalu. Bahkan oleh pemerintah Malaysia, aktivasi otak tengah langsung direspons positif, terkait pengembangan pendidikan anak-anak. Sedangkan di Indonesia, aktivasi otak tengah dikenalkan David Ting dari negeri jiran.

Sementara di Jepang, sudah lebih dari 40 tahun silam aktivasi otak tengah telah teruji dan terbukti. Namun, Negeri Sakura itu tidak membuka rahasia teknik aktivasi ke publik di luar Jepang.

Pembedaan adanya otak kiri dan otak kanan umum kita kenal. Otak kiri dikenal berperan pada logika, pembelajaran bahasa, angka, tulisan, dan hitungan. Sedangkan otak kanan berperan pada daya kreativitas, imajinasi, dan lainnya. Nah, otak tengah (mesencephalon) berfungsi sebagai jembatan penghubung antara otak kanan dan otak kiri. Selain itu, otak tengah berfungsi sebagai keseimbangan.

Otak tengah juga diyakini sebagai perkembangan pertama dalam pertumbuhan janin. Otak tengah adalah bagian terkecil dari otak yang berfungsi seperti stasiun relai untuk informasi pendengaran dan penglihatan. Otak tengah juga berperan untuk meningkatkan kemampuan mengasihi orang lain.

Otak tengah tidak saja bisa diaktifkan secara ''manual'', tapi juga aktif secara alami. Orang-orang yang otak tengahnya aktif secara alami biasanya disebut orang-orang dengan kemampuan luar biasa. Misalnya, tunalnetra yang bisa ''melihat'' dimungkinkan otak tengahnya aktif secara alami.

Otak tengah sudah lama masuk ranah penelitian medis kedokteran. Penelitian otak tengah berhubungan dengan frekuensi gelombang otak (alpha hingga tetha) yang dikenal bisa mengondisi tubuh manusia menjadi rileks dan nyaman.

Sesuai penamaan, otak tengah terletak di posisi tengah di antara otak kiri dan kanan. Otak tengah mendominasi perkembangan otak secara keseluruhan. Di dalam kandungan, ukuran otak tengah, jika dibandingkan dengan bagian otak lain, paling dominan. Bahkan, bayi dalam kandungan diduga dapat melihat keluar rahim ibunya lewat perantara otak tengah (hlm 79-80).

Metode mengaktifkan otak tengah oleh GMC (Genius Mind Consultancy) itu dilakukan dengan komputerisasi, bermain, dan mendengarkan suara. Penulis buku ini meyakini keberhasilan pengaktifannya hingga 90 persen.

Dalam buku ini, Hartono menyebutkan, bila otak tengah telah diaktifkan, daya konsentrasi akan meningkat, kemampuan fisik dalam olahraga akan berkembang, otak kanan dan kiri lebih seimbang, ada keseimbangan hormon, serta daya intuisi meningkat. Terkait mental anak, manfaat secara umum otak tengah, anak yang hiperaktif bisa duduk dengan tenang. Anak yang diam menjadi lebih aktif.

Efek-efek yang ditimbulkan setelah otak tengah diaktifkan bermacam-macam dan masing-masing anak tidak dapat disamakan. Misalnya, ada yang dominan dengan intuisinya, seperti bisa memprediksi kejadian masa mendatang, membaca warna dengan mata tertutup, dan sebagainya.

Ada efek ''ajaib'' yang ditimbulkan setelah otak tengah anak diaktifkan. Salah satunya bisa mendeteksi penyakit, menerima sinyal firasat, menebak kartu, mewarnai tanpa melihat, dan lainnya. Namun, efek di sini tidak dimaksudkan untuk mengarahkan anak menjadi pesulap atau cenayang. Sekali lagi metode tutup mata dimaksudkan untuk melatih otak tengah yang telah diaktifkan agar tidak tertidur lagi.

Hanya, mengapa otak tengah tidak diaktifkan saat usia anak 0 hingga 5 tahun atau di atas usia 15 tahun, tidak dijelaskan secara rinci. Hartono (penulis buku ini) mengatakan bahwa sangat mungkin setelah usia 15 tahun, otak tengah akan sulit diaktifkan.

Dalam buku ini juga tidak dipaparkan bagaimana cara mengaktifkan otak tengah secara khusus dan detail untuk mendapatkan gambaran yang terang. Untuk menutupi kekurangan itu, Hartono coba menunjukkan secara audiovisual lewat video penyerta dan alamat-alamat website pendukung informasi otak tengah. Dalam video tersebut, didokumentasikan demo anak-anak yang telah diaktifkan otak tengahnya. Selain itu, video penyerta berisi wawancara dan testimoni dari orang tua yang otak tengah anak-anaknya diaktifkan.

Informasi dalam buku ini menambah terobosan baru yang bersinggungan dengan dunia edukasi dan perkembangan kecerdasan anak. Namun, biaya aktivasi otak tengah yang relatif mahal bisa menjadi kendala di kalangan masyarakat menengah-bawah. Nah, semestinya, hasil penelitian yang sudah teruji dan terbukti itu direspons pemerintah, baik melalui departemen pendidikan nasional maupun dinas kesehatan. (*)

Judul Buku: Dahsyatnya Otak Tengah

Penulis: Hartono Sangkanparan

Penerbit : Visimedia

Cetakan: Pertama, 2010

Tebal: xvi + 148 halaman

*) Adi Baskoro, pembaca buku dan pemiliki blog rumahmatahari.com

Friday, March 12, 2010

Pemimpin Besar Dunia dan Kekuatan Kuncinya

Kamis, 11/3/2010 | 13:10 WIB

KOMPAS.com - Secara umum dikenal dua gaya leadership: inspirasional dan organisatoris. Jika Anda sudah mengenali karakter dari gaya kepemimpinan ini, saatnya menemukan tipe pemimpin. Anda bisa meniru tokoh yang sudah membuktikan kemampuannya dalam membangun bisnis ternama dan mendunia.

Coach Margetty Herwin, dalam seminar bertemakan leadership yang diselenggarakan oleh Event Management Indonesia dan iCOACH beberapa waktu lalu, menyebutkan 10 tipe pemimpin selevel presiden direktur, yang sukses dengan bisnisnya.

Tipe Inovator
Terdapat sejumlah nama yang termasuk tipe pemimpin kaya inovasi ini. Sebut saja Steve Jobs, Co-Founder, Chairman & CEO, Apple, Inc atau Mark Zuckerberg, Founder & CEO Facebook. Kedua nama ini memiliki gaya kepemimpinan yang serupa tapi tak sama. Satu-satunya kesamaan mereka adalah inovasi yang diciptakan, dan menghasilkan bisnis beraset besar.

* Mark Zuckerberg, pebisnis muda kelahiran New York, 1984
Gaya kepemimpinan: Perfeksionis, pendobrak, dan kreatif.
Kekuatan kunci: Menggabungkan kemampuan teknis yang tinggi, bidang TI, dengan komunitas sosial.
Keputusan besar: Drop out dari kampus dan menciptakan Facebook.

* Steve Jobs, lahir pada 1955 di San Fransisco
Gaya kepemimpinan: Visioner, kreatif dan mandiri, otokratik.
Kekuatan kunci: Memiliki pemahaman naluriah terkait terhadap teknologi.
Keputusan besar: Mengembangkan iPod dan iTunes.

Tipe Pionir
Michael Dell (CEO Dell Inc), lahir di Houston, 1965
Gaya kepemimpinan: Tidak egois, tidak mengeksklusifkan diri, melayani.
Kekuatan kunci: Berpikir lebih jauh ke depan dan tidak konvensional.
Keputusan besar: Menjual produk Dell dari pintu ke pintu.

Tipe Motivator
W. James McNerney, Jr (CEO The Boeing Company) lahir di Rhode Island, 1949
Gaya kepemimpinan: Inspirasional, penuh rasa ingin tahu, visioner, individu yang efektif.
Kekuatan kunci: Mampu maksimalkan potensi SDM-nya.
Keputusan besar: Bergabung dengan GE Asia dan menjadi mendunia karenanya.

Tipe Organizer
Fred Smith (pendiri, Chairman & CEO FEDEX), lahir di Mississippi, 1944
Gaya kepemimpinan: Visioner, berani mengambil risiko, ulet.
Kekuatan kunci: Jeli melihat peluang.
Keputusan besar: Menciptakan integrasi sistem pengiriman udara.

Tipe Ahli Strategi
Warren Buffet (pendiri, Chairman & CEO, Berkshire Hathaway) lahir di Omaha, 1930
Gaya kepemimpinan: Tak pernah berasumsi.
Kekuatan kunci: Cerdas membuat perhitungan bisnis.
Keputusan besar: Sukses mengenalkan bisnis portal (dotcom).

Tipe Membangun
Carlos Ghosn (President & CEO, Nissan & Renault), lahir di Porto Veho, Brazil, 1954
Gaya kepemimpinan: Menggunakan pendekatan langsung, mengubah masalah rumit menjadi solusi praktis.
Kekuatan kunci: Pengorganisasan, disiplin.
Keputusan besar: Melawan arus dalam merger antara Renault dengan Nissan.

Tipe Penilai
Jack Welch (Chairman & CEO General Electric) lahir di Massachussetts, 1935
Gaya kepemimpinan: Terus terang, tegas, fokus.
Kekuatan kunci: Lahir sebagai pemenang.
Keputusan besar: Pengurangan kerja dan divestasi.

Tipe Visioner
* Lew Frankfort (Chairman & CEO Coach Inc) lahir di New York, 1947
Gaya kepemimpinan: Teliti, bersemangat, berorientasi pada tujuan
Kekuatan kunci: Mengenalkan dan mengadaptasi teknik operasional pemerintahan dengan SOP dari Coach.
Keputusan besar: Merekrut Tommy Hilfiger sebagai desainer

* JW Marriott, Sr (pendiri & CEO Marriott Company) lahir di Marriott, Utah, 1900
Gaya kepemimpinan: Kokoh, sistematis, perfeksionis, perhatian.
Kekuatan kunci: Mengeksplorasi cara untuk ekspansi dalam mengubah dunia.
Keputusan besar: Menciptakan bisnis katering penerbangan udara.

Tipe Kontroversial
Rupert Murdoch (Chairman & CEO News Corp) lahir di Melbourne, Australia, 1931
Gaya kepemimpinan: Ambisius, terikat, tegas sebagai penentu.
Kekuatan kunci: Mengkombinasikan uang, relasi dan itikad untuk memberikan penentuan harga di pasar bebas.
Keputusan besar: Mempertahankan kontroling yang efektif di perusahaan media miliknya.

Tipe Penakluk Dunia
Howard Schultz (Chairman & CEO Starbucks)
Gaya kepemimpinan: Inspirasional, berpegang teguh, antusias, kharismatik.
Kekuatan kunci: Bakat marketing dan wawasan tentang peluang kesempatan.
Keputusan besar: Beralih dari kebijakan konvensional dalam menciptakan kopi yang mendunia.

C1-10

Editor: din

Sunday, February 7, 2010

Loan Amortization

For all of you guys..who want to know about KPR (rate outsatnding principal, etc.) just click here to download

Friday, February 5, 2010

Work at the required position

Work at the required position and not on the preferred position, because if you work for the likes then you will be exhausted following the tastes of each person would have different beda.Tapi if you work on required positions, then it is definitely and clearly that you will be required in that position regardless of whether anyone else likes it or not. But how idelanya if you can become a person who is required as well liked by everyone.

www.wahyudiharisiswanto.blogspot.com

Friday, January 29, 2010

Leaders: "Getting It Off Your Chest" In Six Vital Steps

by: BMA Editorial Team B .
Most leaders I coach don't balk too much when I encourage them to put their thoughts on the table-and they often struggle when it comes to tabling their feelings.

Yet there are serious and significant consequences when you don't "cough up" about how you feel about a burning issue:

Click Here for Download

Article Source:
http://www.bestmanagementarticles.com
http://leadership.bestmanagementarticles.com
About the Author:
Carolyn Stevens, Managing Director of Leading Performance Pty Ltd, works with executives, leaders and teams who want to do a remarkably good job. Go to http://www.leadingperformance.com.au to request her useful, bite-sized, twice-monthly leadership solutions.

Thursday, January 28, 2010

Establishing human resources and civil servants who Excellence Winner

Try to observe that every year, there are tens of thousands of participants join CPNS (civil servant) test, and make no mistake that they not only on the position of unemployed and seeking work, but many of them already in a position to work and even crazier that many also have a position of office They knew that in the salary as civil servants will get for sure under the current salary is one of them in the position as Head of Branch office of a company, What's on your mind when hearing the word civil servants (Civil Service)?

Click Here for Download

Warm Regards,
Success in Your Hands ..!!

Wahyudi Hari Siswanto
Practitioners in the financial services industry
(whsiswanto@gmail.com)

Succession Management in creating a great successor ..!!

Word of the wise, life had to be big, strong, broad, strong, simple is the attitude, character and behavior. Any responsible person would have tried to make himself a big, strong, broad, and there tangguh.Namun greater than tu all, that is making others more powerful, more spacious, bigger and tougher from it. And one other person who becomes our responsibility is to our men. Print Prosess our men to be our successor is called succession management.

Click Here for Download

Warm Regards,
Success in Your Hands ..!!


Wahyudi Hari Siswanto
Practitioners in Financing Services Industry
(whsiswanto@gmail.com)

Wednesday, January 27, 2010

How Quality Employee Engagement Surveys Can Help Big Businesses

by: BMA Editorial Team A

We live in an era that values immediate satisfaction. Drive-through employees are docked for taking too many seconds to provide a hot, cheap meal. We don't even have to spend time driving to a movie theater or rental store these days - we can stream nearly any entertainment we want from the web or order it directly from our TV. Yet, even in this interconnected era, certain things are better when they're done slowly and thoroughly. Employee engagement is one of those items.

A long-term, outcome-based approach is useful for improving employee engagement. By examining a case study, this article will outline the benefits of doing multiple waves of employee engagement research.

WHAT IS EMPLOYEE ENGAGEMENT?

Click Here for Download

Article Source:
http://www.bestmanagementarticles.com
http://human-resources-mgt.bestmanagementarticles.com
About the Author:
Monica Nolan is an Account Manager for PeopleMetrics. Learn how PeopleMetrics can help your company actively engage with customers, patients and employees by visiting http://www.peoplemetrics.com/

Tuesday, January 26, 2010

Too Many Employees to Make Any Money

Employees cost money. With high wages, insurance for them and the rising taxes and most importantly, with the drastically reduced reimbursement from insurance companies for services, one must keep the number of employees at the lowest possible level.

Or does one?

Only if you want to stay poor, despite being a doctor, and want to overwork yourself, have rarely time for family and if you want to worry about the money you are not making in case you do go on vacation.
Only if you want a stressful life and want all life's enjoyments drained out of your life.
Only if your premature aging means nothing to you
Only if you are suicidal.

But if you want to realize the dreams you had when entering med school and opening your practice, then you better listen well to what I have to say.

What I say is not mainstream, but let's face it, mainstream management of any private health care professional means working till 100 because of lack of money.

It means worrying about making payroll and not enjoying the so needed and wanted vacations and then having to catch up with making money, bills and work when coming back.

Click Here for Download

by: BMA Editorial Team B .

Article Source:
http://www.bestmanagementarticles.com
http://human-resources-mgt.bestmanagementarticles.com
About the Author:
Helmut Flasch is a marketing consultant who uses Un-advertising rather than the traditional advertising methods. Find out more information about his marketing strategy at http://www.unadvertising.info

Focus to “Can Do Circle of Mind”..!

Have you ever think that mengkudu or pace fruit with pockmarked surface and reeky smell or can produce result omzet 100 million per month? And more wonderfull is that the omzet of uninteresting fruit is created by the old man, 61 years old who ever sick of kidney, liver and heart attack. In suggest of his family, the old man who lives in Jakarta consumes mengkudu fruit juice frequently. What’s going on?

Wonderfull..!! his sick is recover, and he can be alive normally without diet.
Based on experience, how efficacious it is, finally..the old man proceed this fruid to be more delicious for marketable reason to be sold. This is not easy, because the fruid is covered by dangerous slight layer despitefully there are a lot of kernel inside so that needs room temperature 10 degree celcius to avoid fungus and bactery proliferating there. After trying frequently, the result…wow..it’s amazing..!! on years 2007, start up business with financial capital Rp.250 million from Kredit Usaha Rakyat (KUR), Initially, he just can proceed 200-500 kg mengkudu fruid per week, his omzet is Rp.20 million per month, but right now he can proceed 1.000-2.000 kg mengkudu fruid per week. From that, the old man can reach out omzet approximately Rp.100 million per month with net margin up to 60 percent from sales of mengkudu juice. It’s really..Amazing..!!

What’s the message can be taken out from that story..??

Click Here for Download

Warm Regards,
Success in Your Hand.!

Wahyudi Hari Siswanto
Practitioner in multifinace industry
(whsiswanto@gmail.com)

The Champion's frog was deaf ..!

Once, on a steep mountainside and surrounded by a river with a steep ravine there is a kingdom inhabited by the frog community. The King Toad for loyalty and courage test subjects a morning to make the competition among frogs. "Anyone who can reach the top of a steep mountain that would get a quarter of the empire and was appointed ruler in the region".

The result was recorded frog 3500 participating in a race by following the phase 3 trials, but the river is very swift currents that pass in front of their territory, and cliffs across the river, and the last peak of a slippery mountain with a steep cliff around.
One round of competition has passed, the result: only 500 frog left the remaining 3000 losses. Frog among gossiping, whispering how terrified this race field, until at last only 20 frogs are bold daring arena lomba.Apa continue to happen? Steep slopes and the rapids have been selecting these frogs to frog remaining 5 to resume final round. The frogs are whispering to each other how terrified berpadangan race. And what happens is only 1 frog who is willing to continue the race. What happened ..?? Shouts of derision how stupid frog desperate to continue the deadly race. Regardless of the ridicule that is, the frogs kept going steadily despite facing the field is very steep and the Extraordinary .. ..!! The Frogs came on top of the mountain and become champion .. What's the secret?? .. It was the Champion of the frog was deaf ..!!

Click Here for Download

Warm Regards,
Success in Your Hands ...!!

Wahyudi Hari Siswanto
Practitioners in Financing Services Industry

Monday, January 25, 2010

Mental attitude to face free market

All the products were labeled made in china is always amazing and sometimes unreasonable eg starting motor bikes of 5 million, 900 rb blackberries., Laptops, clothes, shoes, and did not rule out what's in any grocery market will be labeled made in china. interest rates below than 5%, tax incentives, labor could be productive wrote 48 hours per week is our dream to bersaing.jika not anticipated, starting April fore, it is not ruled out when we open the eyes of the morning, to close my eyes tonight day, even in the dream was made in china .. again .. that appears.

Here, the mental competition, nationalism and management strategies will be formulated in a wise policy in dealing with free markets.

Saturday, January 2, 2010

Becoming An Effective Leader

Dear Extraordinary Friends ..

Some time ago we just heard there was a new breakthrough in the government taken this ministry in the state in which one state producing electric current in the ground water of PLN, have been the top turnover leader.
This is new for the first time held by a figure who is not an electric background, namely Mr. Dahlan Iskan (DI) that appears a controversy related to his competence to work on the new field of electricity. Apart from the controversy about "leave matters to the experts" that in fact "is an expert electrical engineer", is useful to try DI learned figure which could be complementary courses from the non-technical skills. for campus engineer producer in Indonesia.
According to information As with CEO IN PLN elected because his ideas are "radical" is expected to improve the "performance" PLN. But in my Padangan effective leadership factor was the one who can drive him like this.

There are 5 factors that we can make reference to the effective leader:

Click Here for Download