Sunday, May 2, 2010

Beli Rumah dengan Kartu Kredit (part 1)

(Perjalanan Kisah Tragis nan Heroik, demi sebuah Rumah Impian)

Pertama kali saya beli rumah, seperti kebanyakan karyawan pada umumnya adalah dengan KPR. Sudah 5 tahun lamanya saya bekerja, waktu itu sekitar tahun 2007, Jawa-Sumatera-Kalimantan sudah saya jalani, namun ternyata besarnya tabungan saya tidak sama dengan 5 tahun x 12 bulan x besarnya gaji x 1/3, sesuai ajaran luhur orang tua untuk menabung minimal 1/3 dari penghasilan kita. Yang terjadi setelah saya 5 tahun bekerja adalah 6 bln x besar gaji x ½, dalam artian begitu “kepepet-terdesak” dan sadar bahwa hidup butuh rumah dan rumah bisanya kredit, sementara kredit butuh DP (dow payment-uang muka), maka rumus kilat DP saya ketemu 6 bln x besar gaji x ½. Singkat kata DP 10 juta, KPR Subsidi pemerintah saya dapatkan.

“Proses berikutnya, nanti bapak akan dihubungi pihak bank,” begitu kata customer service developer dimana saya ajukan kredit KPR, setelah saya kirimkan semua berkas yang diminta.Namun..apa yang terjadi ?” hampir setahun saya menunggu proses lebih lanjut, setiap kali bertanya ke developer, jawaban di atas yang terulang.

“Bapak harusnya mengecek dulu, rumah yang mau dibeli bentuknya seperti apa, bangunannya sudah ada apa belum, dsb.” Ibarat beli motor, kan barangnya dilihat dulu, bukan hanya sebatas site plan, ” begitulah kata petugas Bank yang kami temui, serasa seperti petir di siang hari,” Rumah yang mau bapak beli itu, tanahnya masih sengketa”jadi semua berkas pengajuan dari developer juga belum bisa kami terima.” Lanjut petugas Bank.

Hangus sudah rumah impian, yang sedianya akan saya jadikan hadiah pernikahan untuk istri saya.Proses lama dan berlarut-larut memaksa saya (dan mungkin juga ratusan orang yg.menurut info developer sudah mengajukan proses) melupakan mimpi tersebut. The show must go on, pelajaran pertama aku dapatkan”Beli rumah dilihat bangunannya dulu, bukan hanya site plan (gambar)”, dan untuk mendapatkan pelajarn tersebut seharga DP rumah.Ibarat pepatah jawa, “Untung DP-ku baru angsuran pertama”.

Waktu kian berlalu, bayang2 beli rumah di developer yang kemarin masih membekas. Disuatu pagi yang cerah, Kepala Cabang dimana saya bekerja, mengajak saya melihat rumah yang sudah dia incar sebelumnya.Untuk menghindari cerita saya terulang, singkat cerita, kolega kantor tsb.saya tawari cek kejelasan status perumahan yang ditawarkan.Kebetulan saya msh.ada saudara di salah satu bank yang kerjasama dengan developer tsb.

“Developernya jelas itu, Yud..sudah ada 15 unit dari 100 rumah yang realisasi”Ambil aja, saya pesankan 2 unit, 1 buat temen kantor, 1 buat kamu.Kebetulan kmr.ada tolakan bank 3 unit, jadi bangunannya sudah jadi, ambil yang itu saja.” Begitulah kakak sepupu saya yang bekerja di bank tsb.bilang, dan akhirnya kami pun dipesankan unit, dan janji ketemu 2 hari kemudian.
“Berhubung rumah yang bapak pesan sudah jadi, dan bapak sudah lihat sendiri rumahnya, maka kami minta maksimal 1 minggu setelah ini, bapak harus melunasi DP-nya. Harga rumah 80 juta (harusnya harga baru sdh.90 juta, dari harga awal buka, 1,5 tahun yang lalu:60 juta), DP 20 juta, jadi KPR bapak 60 juta, kalo persetujuan pihak bank dibawah 60 juta, maka bapak harus membayar sisanya cash.”begitulah developer dengan posisi tawar yang diatas saya menjelaskan.

“Gmn.Pak? diambil?” kolega yang kepala cabang tadi meminta pertimbangan saya.
“Ambil aja Pak..” spontan otak kanan saya merespon. Padahal otak kiri saya langsung mereply” uang darimana?”Bukankah kmr.habis buat resepsi nikah?”. Ah gimana nantilah..“Saya cuma ingat kata guru pengusaha saya, bahwa salah satu kesalahan yang masih bisa diampuni adalah kesalahan dalam membeli rumah, karena harga rumah akan senantiasa naik.”

Dateline bayar DP KPR adalah Senin. Sampai dengan Hari Jum’at belum satupun ide yang muncul buat bayar DP. Bener-bener buntu. Yang ada di 75 % otak saya cuma 5 buah kartu kredit dengan plafon Rp.3.500.000 per kartu.total Cuma Rp.17,5 juta, gak cukup..!! lagian apakah biaya sudah selesai? Bukankah msh.ada biaya realisasi KPR? Ah…biaya DP aja blm.selesai, ngapain mikir biaya realisasi.Tapi…gimana bayar kartu kreditnya kl.aku pake semua?Bukankah gajiku juga cuma Rp.3.5 juta? Dan bukankah sisa tagihan periode seblumnya msh.6.5 juta? Otak kiri ku langsung send message “Nggak Mungkin..!!”.

Dalam teori The Power of Kepepet, otak bawah sadar kita akan bekerja optimal, mengembang lebih besar dari yang ada, menembus batas yang tidak mungkin di sentuh oleh kondisi normal. Segala panca indra, seolah tak lagi berfungsi pada posisinya.
Dengan muka tembok, dan kulit badak, aku pinjam orang tua, msh.kurang aku pinjam mertua, sesuatu yg.gak mngk.dilakukan pd.kondisi normal, gmn.mngk.seorang menantu pinjam mertua di saat tenda resepsi pun blm.usai dibongkar??!.

8 juta dari orang tua, 7 juta dari mertua, sisa 5 juta, klop aku gesek kartu kreditku (cash advance/gesek tunai), dan beres...hari minggu aku selesaikan project ngutangku, dan senin aku bereskan DP ku 20 juta.Hari-hariku dalam menanti realisasi KPR dipenuhi dengan tagihan kartu kredit.Dan....alamak...biaya realisasi KPR msh.7 juta-an lagi?Lengkaplah sudah, akhirnya 4 kartu kredit aku gesek, tinggal satu kartu yang tersisa. Dan memang dalam teori manajemen kartu kredit, salah satu bunyinya” dalam siklus hutang kartu kredit, minimal harus ada satu kartu dengan posisi tidak terpakai, dan pemegang kartu harus punya penghasilan setidaknya sama dengan nominal hutang satu kartu yang digesek”.

Dan begitulah, akhirnya...sebuah rumah mungil, bisa aku dapatkan, istri dan karunia seorang anakpun patut saya syukuri sebagai penghuni rumah, walaupun ”luka” kartu kredit itupun masih aku alami sampai saat ini, hampir 2 tahun kemudian. Namun, bereskah urusan KPR saya?Bagimana dengan nasib KPR saya sebelumnya? Simak dalam cerita heroik edisi berikutnya.

No comments:

Post a Comment